Kapan Seven Eleven Masuk Indonesia

Era Keemasan Seven Eleven Indonesia

Seven Eleven merupakan jaringan ritel 24 jam asal Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1927. Gerai ini mulai mendunia pada tahun 2008 saat dilakukan penandatanganan Letter of Intent Master Franchise Sevel di Dallas, Amerika Serikat.

Selang satu tahun, Seven Eleven masuk ke Indonesia dibawah PT Modern Putraindonesia, tepatnya pada 7 November 2009 dengan gerai pertamanya di Bulungan, Jakarta Selatan.

Tampilan fisik serta produk-produk yang dijual Seven Eleven memang memiliki ciri khas minimarket. Namun, untuk bisa buka selama 24 jam, mereka harus menggunakan izin restoran.

Kemudian manajemen pun menambahkan makanan cepat saji, lengkap dengan meja dan kursi untuk pelanggan menikmatinya. Produk khasnya yaitu Slurpee, sejenis minuman es dan Big Gulp, yang merupakan minuman soft drink berukuran besar.

Nah, konsep tersebut cukup diterima oleh masyarakat khususnya kalangan muda.

Hingga pada masa kejayaannya, melansir halaman Katadata, Seven Eleven membuka 30-60 gerai baru di Jakarta. Bila tahun 2011 hanya terdapat 50-an gerai, tahun 2012, jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat yaitu 100 gerai, sampai Desember 2014 gerainya pun bertambah lagi menjadi 190 gerai.

Penjualan bersih 7 Eleven di tahun 2014 naik 24,5% dari tahun sebelumnya yaitu Rp778,3 miliar menjadi Rp971,7 miliar. Dapat dikatakan, tahun itu menjadi masa keemasan Seven Eleven di Indonesia.

Seven Eleven Indonesia sempat menjadi salah satu tempat yang digandrungi masyarakat, khususnya kalangan muda untuk bersantai dan nongkrong dengan teman-temannya. Namun, seiring berjalannya waktu pamor Seven Eleven kian menurun.

Tahun 2017, tempat yang akrab disebut dengan Sevel ini resmi menutup semua gerainya yang ada di Indonesia. Padahal Sevel selalu ramai dengan anak mudah yang senang nongkrong.

Sebetulnya, apa penyebab Seven Eleven hengkang dari Indonesia dan bagaimana perjalanannya hingga sempat menjadi tempat nongkrong favorit anak muda? Yuk, ketahui selengkapnya dalam artikel berikut ini!

Baca Juga: Indomaret vs Alfamart: Dua Raja PAsar Ritel Modern, Mana yang Terbaik?

Strategi pemasaran yang tidak tepat

Model penjualan yang digunakan oleh Seven Eleven adalah minimarket premium dengan kafe dalam satu tempat, namun ini kurang pas dengan pasar Indonesia.

Mengutip halaman Strategi Manajemen, Sevel mungkin menjadi contoh penerapan strategi produk stuck on the middle. Ingin menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa dan ingin menggunakan prinsip supermarket yang efisien seperti Indomaret, namun terlanjur memberi kesan premium produknya.

7 Eleven menyediakan berbagai jenis snack, kopi, makanan berat yang perlu dipanaskan, dan lainnya. Namun, hal ini malah menjadi boomerang tersendiri bagi Sevel, yang mana pada kenyataannya daya beli masyarakat rendah.

Banyak kalangan muda yang datang ke Seven Eleven untuk nongkrong berjam-jam hanya dengan membeli soft drink. Sehingga pendapatan yang masuk tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan.

Memang awalnya, Sevel mengharapkan pelanggan yang datang akan membeli makanan premium yang mereka jual sambil nongkrong seperti di kafe pada umumnya. Namun kenyataannya tidak seperti itu, pelanggan yang datang hanya berjumlah sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah anak muda yang nongkrong berjam-jam meski hanya membeli snack atau soft drink saja.

Tingginya biaya operasional dengan pemasukan yang sedikit

Biaya yang harus dikeluarkan Sevel sangat besar, namun pemasukan yang didapatkan sedikit. Sebagai contoh, biaya yang harus mereka keluarkan untuk memanaskan makanan sangat tinggi namun pembelinya sedikit. Akibatnya, banyak makanan yang dibuang karena tidak terjual.

Selain itu, Seven Eleven juga harus menyewa lahan luas di lokasi yang strategis. Ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena memang Sevel ingin menyediakan tempat nongkrong untuk para pelanggannya.

Beberapa penyebab tersebut membuat 136 gerai Seven Eleven harus tutup di Indonesia pada tahun 2017. Ditambah, ketatnya persaingan dalam bisnis ini membuat Sevel gagal beradaptasi karena kompetitor hadir menawarkan harga yang lebih terjangkau dengan bangunan yang cukup luas sebagai daya tariknya.

Memang, Sevel menawarkan konsep minimarket yang unik untuk memanjakan pelanggannya dengan nongkrong kapan saja sehingga banyak ditiru oleh minimarket lain di Indonesia. Namun sayang, Sevel terus bertahan dengan konsep tersebut tanpa mengeluarkan inovasi baru sebagai pembeda dengan minimarket lain.

Baca Juga: 5 Contoh Waralaba Indonesia Yang Telah Mendunia Hingga Amerika!

Itulah beberapa informasi penting mengenai perjalanan Seven Eleven di Indonesia yang perlu kamu ketahui.

Banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari kasus tersebut, misalnya jika ingin bisnis terus berkembang, inovasi adalah satu hal yang wajib diperhatikan. Kamu bisa melakukannya dengan mengembangkan cara atau sistem bisnis dari tradisional menjadi digital.

Dalam hal ini,  tidak perlu memikirkan teknologi yang rumit, kamu bisa melakukannya dengan membuat invoice secara otomatis. Invoice digital dapat membantu kamu meningkatkan efisiensi bisnis karena prosesnya jauh lebih mudah, misalnya dengan menggunakan Paper.id.

Paper.id adalah platform invoicing dan pembayaran yang akan mempermudah kamu dalam pembuatan invoice antar bisnis secara praktis.

Bukan hanya membuat invoice dengan mudah, kamu juga bisa terima pembayaran secara digital dengan berbagai metode, seperti transfer bank, virtual account, marketplace, dan kartu kredit sekalipun tanpa harus menggunakan mesin EDC fisik.

Bagaimana, menarik sekali untuk pebisnis masa kini, bukan? Yuk gunakan Paper.id sekarang. Gratis, lho!

Content Writer dengan 4 tahun pengalaman menangani konten beragam topik di berbagai industri baik B2C dan B2B, termasuk bisnis, ekonomi, keuangan, dan sebagainya. Saat ini menulis di Paper.id untuk memperkaya wawasan pemilik bisnis dan memajukan industri B2B seluruh Indonesia.

Latest posts by Nadiyah Rahmalia

Industri minimarket di Indonesia telah lama didominasi oleh pemain besar seperti Indomaret dan Alfamart. Dua merek ini telah membuktikan kemampuannya dalam menyajikan produk yang terjangkau dan mudah dijangkau oleh masyarakat Indonesia.

Namun demikian, tidak semua pemain dapat bertahan di pasar ini, bahkan dengan nama besar dan strategi global. Salah satu contoh nyata adalah Seven Eleven, yang meskipun dikenal di seluruh dunia, harus menutup pintunya di Indonesia setelah beroperasi selama hampir satu dekade.

Dalam artikel sederhana ini, kita akan menganalisis perjalanan Seven Eleven di Indonesia dan apa yang dapat dipelajari dari kegagalan mereka. Selain itu, kita juga akan membahas langkah terbaru dari Seven & i Holdings yang sedang mengejar strategi global yang lebih agresif untuk mengembangkan merek 7-Eleven di pasar internasional.

Seven Eleven di Indonesia: Mimpi Besar yang Terpaksa Pudar

Seven Eleven (Sevel) memasuki pasar Indonesia pada tahun 2009 dengan harapan besar untuk merevolusi konsep minimarket. Dengan membawa pengalaman ritel dari luar negeri, Sevel menawarkan konsep toko minimarket yang lebih premium, dengan tambahan kafe untuk tempat nongkrong bagi kalangan muda. Konsep ini terlihat menjanjikan, tetapi sayangnya, tidak dapat bertahan lama di pasar Indonesia.

Pada tahun 2017, Seven Eleven akhirnya menutup seluruh 136 gerainya di Indonesia setelah menghadapi berbagai tantangan yang menghambat kelangsungan bisnis mereka. Kegagalan Sevel memberikan pelajaran berharga yang dapat diterapkan oleh pemain ritel lainnya dalam menghadapi tantangan pasar Indonesia yang dinamis.

Penyebab Tutupnya Seven Eleven di Indonesia

Terdapat beberapa faktor kunci yang menyebabkan tutupnya Seven Eleven di Indonesia, yang bisa menjadi pelajaran penting untuk pemain ritel lainnya, termasuk Indomaret dan Alfamart serta peritel lainnya.

Pelajaran untuk Industri Minimarket Indonesia

Kegagalan Seven Eleven di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi industri minimarket di Indonesia, termasuk Indomaret dan Alfamart, yang dapat diambil untuk menghindari kesalahan serupa.

Seven & i Holdings: Mencapai Tujuan Global dengan Fokus pada 7-Eleven

Sementara Seven Eleven di Indonesia menghadapi kegagalan, Seven & i Holdings terus mempercepat strategi globalnya di tingkat internasional.

Pada 13 November 2024, Seven & i Holdings mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima proposal pembelian dari Ito-Kogyo, yang terkait dengan keluarga pendiri, sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat strategi pertumbuhannya. Proposal manajemen buyout (MBO) ini, jika terwujud, bisa menjadi rekor terbesar dalam sejarah, dengan nilai tawaran mencapai $58 miliar.

Lihat Money Selengkapnya

-- Kehadiran toko waralaba 7-Eleven pada 2009 sempat membuat ramai persaingan bisnis ritel di Indonesia.

asal Amerika Serikat itu masuk ke Indonesia menawarkan konsep bisnis ritel yang inovatif dan belum berkembang di Indonesia.

Namun, siapa sebenarnya pemilik lisensi 7-Eleven di Indonesia?

Izin 7-Eleven Indonesia saat ini bernaung di bawah PT Modern Sevel Indonesia yang merupakan entitas anak usaha dari PT Modern Internasional Tbk. Posisi Presiden Direktur Modern Internasional ini saat ini dipegang oleh Sungkono Honoris, seorang pengusaha kelahiran Makassar tahun 1951.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PT Modern Internasional Tbk pertama kali sendiri didirikan pada 12 Mei 1971, dengan nama awal PT Modern Photo Film Company dengan fokus bisnis bidang fotografi. Tahun 1988, perusahaan sempat mendirikan Fuji Image Plaza sebagai pemegang hak distribusi Fuji Film di Indonesia.

Pada 1991, perusahaan kemudian mulai melakukan Penawaran Umum Perdana Saham di pasar saham. Enam tahun berjalan sebagai perusahaan publik, Sungkono kembali mengubah nama perseroan menjadi PT Modern Photo Tbk pada 1997. Perusahaan juga berhasil mendapat lisensi sebagai distributor tunggal peralatan dokumentasi dan fotokopi asal Jepang, Ricoh.

Setelah 40 tahun menjadi distributor Fuji Film di Indonesia, pada tahun 2000 era digital mulai marak dan produk rol film mulai ditinggalkan oleh konsumen. Keluarga Honoris pun mulai memutar otak untuk mempertahankan bisnisnya agar tetap hidup.

Pendirian toko waralaba 7-Eleven di Indonesia pun akhirnya dianggap sebagai peluang emas bagi perusahaan tersebut.

Pada tahun 2007, Sungkono mengubah nama perseroan menjadi PT Modern Internasional Tbk. Ia kemudian pada 2008 berangkat ke kantor pusat 7-Eleven di Dallas, Texas Amerika Serikat untuk menandatangani perjanjian awal

Master Franchise gerai 7-Eleven.

Satu tahun kemudian, Modern Internasional mendirikan anak usaha yakni PT Modern Putra Indonesia dan menunjuk Henri Honoris sebagai Direktur Utama. Entitas bisnis ini secara resmi menggenggam hak pendirian 7-Eleven di Indonesia. Gerai 7-Eleven pertama di Indonesia pun resmi didirikan di Bulungan, Jakarta Selatan di bawah naungan lisensi anak usaha.

Foto: (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta)

Di tangan Henri lah, Sungkono mempercayakan keberlangsungan bisnis waralaba yang terkenal dengan produk minuman Slurpee itu. Pria kelahiran Jakarta 42 tahun silam itu merupakan lulusan Busines Administration in Marketing and Finance di Universitas Seattle Amerika Serikat.

Ia mengawali karier dengan bekerja di Fuji Photo Film di New York, Amerika Serikat sebagai

(1998-2000). Kemudian ia melanjutkan karier sebagai assistant manager di PT Modern Indolab (2002-2003). Kariernya makin melejit ketika ia juga merangkap sebagai Presiden Direktur PT Modern Putra Indonesia yang saat ini telah bersulih nama menjadi PT Modern Sevel Indonesia (MSI)

Namun bisnis 7-Eleven di Indonesia harus berakhir pada akhir bulan ini. Sesuai pengumuman dari PT Modern Internasional Tbk, seluruh gerai 7-Eleven resmi ditutup pada akhir Juni kemarin.

Penutupan gerai disebut terpaksa dilakukan Modern Internasional antara lain karena gagalnya akuisisi 7-Eleven yang sebelumnya akan dilakukan PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). Nilai akuisisi waralaba tersebut sebelumnya ditaksir mencapai Rp1 triliun.

Dalam laporan keuangan MSI, pada 2014 berhasil mengantongi penjualan sebesar Rp 971,8 miliar. Perseroan pun masih bisa mengantongi laba operasi sebesar Rp 83,8 miliar dan laba tahun berjalan sebesar Rp 5,18 miliar.

Namun pada 2015 penjualan MSI mulai menurun ke level Rp 886,15 miliar. Kala itu perseroan mengalami kerugian operasional Rp 49,58 miliar dan rugi tahun berjalan sebesar Rp 127,7 miliar.

Kinerja MSI semakin terpuruk pada 2016, tercatat penjualan semakin turun menjadi Rp 675,27 miliar. Rugi operasional juga semakin besar menjadi Rp 695,78 miliar dan rugi tahun berjalan meningkat ke level Rp 554,87 miliar.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nanatsu no Taizai (Jepang: 七つの大罪), yang diterbitkan di Indonesia dengan judul Seven Deadly Sins, adalah sebuah seri manga shōnen Jepang bergenre fantasi yang ditulis dan diilustrasikan oleh Nakaba Suzuki. Manga ini dimuat berseri dalam majalah Weekly Shōnen Magazine terbitan Kodansha sejak bulan Oktober 2012 hingga Maret 2020, dan bab-babnya telah dibundel menjadi empat puluh satu volume tankōbon. Manga ini menampilkan latar yang mirip dengan Eropa pada Abad Pertengahan, dan kelompok utamanya merupakan para ksatria yang melambangkan tujuh dosa besar.

Manga ini telah diadaptasi menjadi seri anime sebanyak tiga musim yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan Studio Deen. Sebuah film berjudul The Seven Deadly Sins the Movie: Prisoners of the Sky ditayangkan perdana pada tanggal 18 Agustus 2018.

Manga ini telah dilisensi oleh Kodansha USA untuk diterbitkan dalam bahasa Inggris di Amerika Utara, sementara bab-bab tunggalnya dirilis secara digital oleh Crunchyroll di lebih dari 170 negara secara serentak ketika dirilis di Jepang. Netflix memperoleh hak streaming eksklusif bahasa Inggris untuk seri anime-nya, sedangkan Funimation saat ini memiliki hak distribusi video rumahannya.

Hingga tahun 2018, Seven Deadly Sins telah terjual sebanyak lebih dari 30 juta kopi dalam sirkulasi. Manga ini memenangkan Penghargaan Manga Kodansha ke-39 untuk kategori shōnen pada tahun 2015.

Seven Deadly Sins dahulunya merupakan sebuah kelompok aktif yang terdiri dari para ksatria di wilayah Britannia (ブリタニア, Buritania), yang dibubarkan setelah mereka dituduh akan menggulingkan Kerajaan Liones (リオネス王国, Rionesu Ōkoku). Mereka disebut-sebut dikalahkan di tangan para Holy Knight (Ksatria Suci), namun berbagai rumor terus menyebut bahwa mereka masih hidup. Sepuluh tahun kemudian, para Holy Knight merencanakan kudeta dan menangkap sang raja, dan menjadi para penguasa tiran di kerajaan. Sementara itu, putri ketiga raja Liones yaitu putri Elisabeth tidak sengaja mendengarkan rencana tentang kudeta yang diusung oleh kesatria suci. Raja pun memintanya untuk pergi mencari Nanatsu dan 6 kesatria lainnya untuk menghalangi rencana kudeta tersebut dan mengalahkan musuh kerajaan yang sebenarnya dan memohon bantuan kepada mereka untuk merebut kembali kerajaan dari para Holy Knight.

© 2024 Nordeus Limited. “Top Eleven” and the Top Eleven logo are trademarks of Nordeus Limited. Nordeus Limited is a Take-Two Interactive Software group company. All rights reserved. The Top Eleven store is operated by Xsolla. Offers valid in-game in Top Eleven: Be a Football Manager only. Offer availability, pricing, and game formats may vary by region. Pricing may vary by format, platform, region, and based on previous purchase activity.

%PDF-1.6 %âãÏÓ 36 0 obj <> endobj 46 0 obj <>/Filter/FlateDecode/ID[<5401EF9E83470A45BEE33B7AC810E892>]/Index[36 25]/Info 35 0 R/Length 72/Prev 233562/Root 37 0 R/Size 61/Type/XRef/W[1 3 1]>>stream hŞbbd```b``Ú "¹Áä?ÉòD²Î’LïÀjz€$£ùC°šp ù÷ô7&  [@"@1*�ÿ·|0 Hö endstream endobj startxref 0 %%EOF 60 0 obj <>stream hŞb```¢ç̬;„@(Æ„€œÓ Ø. éÃŒ{´°©0•2Ìh˜Ÿ» (§Ü7©oJ-‰Û´nKĞ‘¸Kç®�»�Ş‘^Ñц 5`5Èd`[# ¤9€˜ìŠ`7é?à+zÄ ÜgÀ˜Â0�Aµ�uSC$˜Áú¬RŠ�íh2�fâ? 6º;N endstream endobj 37 0 obj <><><>]/OFF[]/Order[]/RBGroups[]>>/OCGs[47 0 R]>>/Pages 34 0 R/Type/Catalog>> endobj 38 0 obj <>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC]/XObject<>>>/Rotate 0/Type/Page>> endobj 39 0 obj <>stream H‰„V]oÓJ}÷¯ØGûÁ›�İõz!¤4)ÔŞô¶†+tÅC€¶*÷¦…ø÷œ™õGE¨Š“όϜ93îIWÅ»ÛbÖuFéUwS�RŠr�”M­�^µN{¯ºmQªªûĤÈéÆ'�¨©á |ÒɪîcñoyU…ò´ªCù¦ª}şõÿR¼ËåhœWäòñŒ�o³Iü ¾1‡ñ‘ÍÏ«Ú†ò²z×½*(�nœòÄ5¼Ës\,<ù>PÚ”6è›Áû �fD„}ÜauŞk6Ä= ê«ìŒjÁ_– ¶U�Ş…²«ˆÊÕœrv2^S¤œ/ÓY[ßj‹g ©ù9¹©é’ƒç™"NÖ•apޘtãbŸö‚ÓFíÍÈÎEU§œi-8û‚//ŠÆã⢛¤Í@íaÏ‘Ô)hCŒ8+cğ2ª¶FŠX�Åğ׈İg,óŠ[äÀM�zÀ›eú‰›nÁ›µøɨtÁѯ0&éõ]ESX§G8œ¶qÂqÚ_ ‚��ƒ¾�ˇ„†³EqŞc¬WŞHö6¨Ûb¶Úµ|(ş.NºŸ�‹‹^û˜ÃÃ4/uM;qğ¥f,b¤R¹ÆLİ{¨í{Ö‘…d�:wëIZb­N»Ö‰9ôY.Ñ€;Ä´»r_ùrWQoãΰúÊk4"–ÿW�ò�¯I„cáYW�HÏ$…„«(ßóßsCoÅãAP£Ö GÎEÖ ¡¸„/@Ş]7Á�®#¸GÊysÌ/1á±�jÏ�PšõÀ匚"P‘ÔÌ•b»P›=¶Œ˜ §_ØãIïi¤Œ(WÍUF¹:ä˜ï½Ü�&ùF§ay<.àÖêÔ6ÓèÿN¿Ù‚™-’,”òò÷Óx�İhgæ°c™Ñ>¯ñ9“Fçi}ÛÏV<¥ãÙå´JpK½k�iÖBfr�lG’¥DºE{¶CnÜzÚ /*thÅâ{%3´‹ş=`å”7+fÏPÛ§Ÿÿ²3¨a÷,úЃ´æçœ>¿wÄ�_K~Û¯¥7•=ª‹²óÀ�”ÙD�èx2 û4¶vlH®3v.oÆ2•cQ4ç ˜‘Ö¥‚¢"¿*fG周¯´Ù|·¿»Ù|Ø«§OgWߪ￾V³6ûëİv³ûOÍ:1\lnïî7û»‡{õìÙÉr¡°'­nÛZëeî¦^2¶Á¦D³|ãšèx;…!^\áëk1{>lÊÓsdú!À ñ‘¼ß endstream endobj 40 0 obj <>stream hŞÌ˜_oÛ6À¿ »WÿJ@ qoØšuÖ(ú :‚#Ì– IAÓoß»IÓª§¶ÖÀ�'Şu$�?1Q–q¦2–ÊŒ©œ¥YÊ4gR)¦Sè´‚iÁR�¦%KM–3­˜°ú5™wÃ$'m™â ş9´V²W¯’ëb]¾øPte³.šKn¿nËäf:Kşn‹e —�ÛMÓeŞ�ors}v–¼‡ËU¹.k4Ï>w{5CSSQ'µQÈûªüİØìzñ�ÓsÆ_¦9ülŸÅåc7ë½E0‘ëy»€—2“ËdZl/«å=<‘¼.{ËD¤&¹ZË–I‘\mêîâbóøq¢MÆ&’[&8ç,åÜ~"+®Br[­Ëöºüòn³.ê·ó7·É]±ªçõrU2�Ì»rı�e.;Ã×5Õ¶Û4É?.¥ Å�ÖfìgŠÀB‘wj†“dğŒ¶4ëm(d3*øc+ì.映/ùÃ^h.R†…hŒ%!=…„ŠD…r€¢õ¶Ìé}›�:Ú½-‡ñ½�ı”7ä@ó59åE:Ğã6Ì9ÎİéöÀ¼}�ñšP~NÇ1¬§@Z­ íbİšz¿”î;ğŒÂÎ#hFzígBÙ»‘) 9n%âÖâ’êşU¨‹èõ{[e` Nİ„2ğ}”2öv$ú: ¾JË�õ§nYôNT´ECÁ‰RYÀDc c:‹§å7ããゆ­9 øîCı¾â²•;Ÿ SE["&�å²^lîªz™|¨êóº­ÂóUÕ´İô¾h 8ûˆÁo gï’¿ ç ´Ô½mJÂR`Œ|×İ·øÉ€¨=lZ{›ÂˆÔš�z�ÂŒ£sr±Yİ�ğ35úi€ê_  >¥~WéØemÂñ²üd‚†q,ß ôç’Ú¹cã“Ä£OGt´2â³÷sG"‡&#TÓ5#bB]÷‡§gN÷öãåmC„ÊΟàÔjÁ"4ìÀ(B{,"CqJ††¨!C{åG!*"ˆ*K ô•àû�‚¨V|¢ò{ˆêh“†vĞ`½ĞD" Aj“õ%2ÿ±+[ôy6EÇÆñu•dóE=dNA)܉OA©<¥Bñ¥P„ÒTq¸És)� ´çè ¨xÁ3‘*ó_©H¬©şNú5“ûÇex?�‰êIßIıtx'Åçá¥f¨–ïuìNê úİ�tp|üÑÎæ/5a<´ÃŸ�TÕóÓ€š»;ç¡;é�ñŸq”PGx*L?gÃÍóxÊwõâm‡x:Ä¥—Ü­á³qzèâiù(J §OÔì‰Ó¨Ö�â4€æ$¨ê“ jTÿd¸%sğ.êv[4e½øÚGÌšÍÖœn¦³–)K¯rÿ¬xóúìì› ûÔV endstream endobj 41 0 obj <>stream xÚì½ Œ×•.\ D¡@� Q$Á­ÙİfKi¡õ é ’!K²[ÖHO¶,y“÷İ–·$Şï‰“8qï»Çv¼ÆYÇ–%yw[ÖÚ×ZéâÔ+T¡–©ªÿœ[-Y^2oşy˜73 /®JE6÷ºç»ßwιçú~¿ı£7Ïó¾~§ëº_úëaq§ÿ£õ[¿õ›GÚ¿ş€CHò ±mûo�O¿õ[¿ı£!‰K¡Ğñdß¾}µZíŠ+¶º®ı·ĞæëğÒoıÖoÿàpâØ&o¼ñûÑh4‹%ÌÙgŸ)ËòW$O@EúŠ¦ßú­ßg€ †a\tÑE…b!‘HPÅ0L2™<¹õöÛ¾‚}ÓoıÖo‡`! àÙl ƒ¦™tš>¢FÓ4ÜH …À'ï¼óN_Åô[¿õÛA¿Ç—èÄ/~ñ‹Z A#™L‹ŠFbÅb9•ÊÄãp70“ùßš¯(JŸ‡ô[¿õ1ä�hµZ@? &b±x8…"™L!D…£1:‰Æâx$‚î5¡P謳Îzã�7ú?b¿õÛß};¨8\DZ£sÆõ×÷�}öÙù#£‘p$™H%™xŒ‰„cápô˜ooxıÍ÷.»â»T(ôH‚H<–f3…Rî¹îºëD^ğ¿ˆå|ÁK¾‘¡ôåO¿õÛunAL÷�Ä8ÌfçàÃs\r¿M`Ä2Lıúïß #“a‰t<ÎÄ¢4H˜p(zåÖïZ¦/ªmû—\º5‘D�E#ÀCÂÀM"Édî¹úÊ«>—äCïÑoıÖo—Àâù.vÏ!‰pnÁq÷gŸm�‚Z¡ÙB%�dÙÂûï~ˆ ´xµ§iª/ò›�_¾j%}J±™T:O¬Õj¸‰3·Üt³®éä­à-¼ £½û!·m?ÜoıößE¼Àñp‡'¹3à$�ëX­æÌå[/İæÁ$ 7±x4‘¤Â‘3νpÏŞIIêÊ R,‹kÌô$è‹nèºe>ñÌÓ™\‘„n�™DbÑp4 �}ktç�·LCÿFom¿õ[¿ı÷,[‘»çŸ}N, ‡B@$"€ t"�G“,�+oûøÓ=3 à <Ï·fg,Uá¦XšbhŠ¢*–먺Şèp�<ú8P`$“I%Y†fàµ:^(䮼ê2ÂsN2—ßÇ“~ë·ÿvTäKöKDÌÎío/^´„Dl£ @RÉLŠ-Páh4Á�¹ò£©ÙOfëŠi59ŞĞ5M‘�®äjŠ®ğ¾£óBK³ô©úl›ët•Ş�î¸s° B&0²…|®”L¦"‘H"ÁdØôØÂÑÉÉıs*ê°|�¾gµßúí¿²ëÃÿrºmYívû˜c� ‡#`òĞ‘{Dãáp”¢ÂrûÏï™äÍ÷·}ô¯ÊÓÍ©ıvû®µí¯�²şøk®¸xjÿ§®g:®y`j¿(òğ²SSS{÷M]uõ5åÊP($I¥³qLKK’ÄbQPIË–-ûä“Oi«şÕé·~ûoÑú-L]¿üòˉf‰‚¥ƒqÓtŠf2á è�%Ön8é©g_è™VG‘µ+©R·'èz^æwş˜�Eñh$L%˜Øş²Ñœ²m]鉓S{,K“º¢í:|íõ+W…#Q*Œù#Ñ:X‰T,§i�dáÿXøÂ/hš��¾[µßúí?šE~>w<è£ÄÙÜ;”�ñÕ�svqígŸyjb|!EQ©d*§#áh6WŠÓ,�SáXĞãÄÓ>ül¯áûŠ¦š®%)ÜäÔgº.iª¸ûÓ6oÚ Àƒ.Óh´ ğ—Pˆ:ÿü-–¥z�Æ‹“Rw¦Ù9 éŠéÓ�úw¯»�Ie0(LèM8„œ'�Ê�À3C¡0àÉèè‚Ï>ğ1çÂDABÉaˆâ}Óïğ·~¥>±é·~ûši|É|ÙHpâ4Lğ ´¿qí&’íØñÖØ‚Q0 ™LªP,€ıEˆDéP8Ædʛϸ`營'P k÷ş}õæ´$·fgwû¾¦)­[~ğ�îQ)@’@§éx*�É!ĞO,xú©ûlG6mÑóÕzs¯ªIb·Ã �Ï=şÄScÆ£‘x<ÆÀ‘¡“ÑhèI ¡H§ …Â}÷İ'‹’k{‡PWğG†/�äÿgºÚ7BPߣÛoÿ(Hâ|É4Ü/ç{†óE埀�x®ïØ}ÿı k×dsir eX¶P,§Òl̘Æ|õP8râ¦ÓŞÜñN“ãáy�%ÁsM­ÇÙºäÛÊÛoınÙ’abê4H˜H¨ P¸E$RȲÕRD üuú£?şh›¡q€C3³Ÿ4›{…“ä�(òõzı�7ŞX±be6›‡Ãdá^šˆ\n¨*‚F!†f.¾ğ²İ»ö9ÎáyqŞ×=±‡¾û\níAôp¼/�ÛG‰~ë·o2îa¹_f)ˆ!–®Mîİ3T)FÃ!z�3¤ĞZã4hŠXs?"±øñëOxõ�¯i†n˜º¢ˆ¶®ÙºÚm7º�YMn}öÑö«/=;AG¢a*�¤3@DÀÖ#¡R)•JF4€–DBÜ—M§ØT î™ÄÀ¶×_é´ö8–ä9İ]»ŞÙ·ïCÓìy�nèjO•_ıµ+–G�„€¶ §ˆÒ‰ÁJ$‰‚~²(O>öØ >‡0äßȼ›êé·~ûÇiÁûå�ïÎå¨{ı Ä“àZæK¿yf¨R¦m­EÁşCT8f³ùXiÿ ¯8�5'pğÔ|î™gkƒÕh8‹D�pÄ�€PÈ‹µ*$™á£‹–¬¼òê›zôAÖLËk4†©Ù¶^¯ï34É5d_SÄ™/>õÄèĞ xŒ™¼& I!Ë F04uÓM+w}vÇÓ¿>}õ·éT©Hš�ÅIƘx$ZL³£GÃs—.}{Çï|¿§k „‘ú®™©¿vź"µ:íÙ�"Õg'Ÿzòñ“O>`„šk¡XœI&p‘N¹4X©TAæ>r‚ÿç}kôÚënxë­Š¢ú}'j¿õÛß ã‡n  É¡Ü0ËÔõ™Ç~håŠå•ba|Áh�e‰¸Àõù`òt,�J$¢d€H˜µë7<ôğ{öN©ªá:¾ –­ê /¸ÖŒ,´lSõ,õÓ¶?zÏ�µ¾T}OS:¾¥é=qjÿ§íÆKWá[5fëğÁ<ü�îŸßØ~İn>ú˜5)Ñ#‘NÅit»ÆHz )ãŠ'Ùl>™JíCŠ‘4—D*91±è‹.¹lë?¹ó§ø㟦ggzªfXfğİ-ËÄCßğƒ÷[¿ıç™ûafïú_õy1ïKñ7ˆÃôi*™~0½Ãµ¡kªöñ~ÿšFkI:†y&èP$v3b€…%и¢Ä«eèTѱѥW^qm³%Ôœªj�mJ2×nÍåèŠM¡=i¨‚g(¦*üõÃíüòçgo95‚ï@ Vâtx˦òY�ˆ�S·Ş¸è³¿�ïÛרÒúÉ]ó{…©šÒ\ N/ìL©p›Õîå�?¼hí·AF�¡Šìœ¯•ÍEáÓ†"i†É§ß»ü‚mzU#Iò¦®¨ ßëò€!’ *rWÓ4ÓÔ]ß�ãö�oİu÷Ï+Õ6—%‰pøı¢QŒÃ R $L “ØXz îŒÆ >ç©G@ÂO[$’L%j#ëV­˜˜_xÆ™§>òÈC;v¼u`ÿ^ g_l�ã|Á¿N`¾^?¡ßúíßİl×ù4J�¯,�<¨»$ ífkçöO=ñä#=ıWO>õÀı÷^yÅÖE)RJUX«�Ú�cRLš‰'ht<ÒqR=,•J Bzlõ1ë�ıõï[ Ŷü�¢)]ç_SSNëqªÒ´4NWš¾ÓÓ•Ö+Ï=¶xb~sÆ"¸B7“ ZÓ{:ìøµåôŸ^İ$µ.Ö•S[&껫®ºÈ–ÇÕÙGœğÕ•¾º¦½IıÀ2ß¹Tí^sÿİKÇ`¼„´EÃÑx˜H”‰£ubläG·Üğñ‡;uUòlMW»JWR{*àÏ5gf÷KrÇõôq Ï7MKßµk×3Ï

Tutupnya Seven Eleven di Indonesia

Memasuki tahun 2015, kinerja bisnis Seven Eleven mulai menurun. Saat itu, penjualan bersihnya tercatat sebesar Rp886,84 miliar. Untuk pertama kalinya, mereka menutup 20 gerainya di Indonesia.

Ada beberapa penyebab dibalik tutupnya Seven Eleven Indonesia, di antaranya:

Dikutip dari IDN Times, penurunan penjualan Seven Eleven juga disebabkan karena larangan penjualan beralkohol di minimarket. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minol.

Padahal, salah satu produk yang diminati di minimarketini adalah minuman beralkoholnya. Hal ini membuat pelanggan yang biasa membeli beer di Sevel beralih ke tempat lain.